Tentang Anak Kelas 6 SD, yang tak tahu Alphabet (Catatan Interview dengan Indonesia Mengajar)
https://www.daengfaiz.com/2015/12/tentang-anak-kelas-6-sd-yang-tak-tahu.html
Menjadi seorang penyiar radio adalah sebuah pilihan. Pilihan untuk mendengar kisah-kisah hebat dari orang-orang ternama ataupun cerita-cerita yang tak henti-hentinya menggetarkan dada. Salah satunya ketika saya mendapat kesempatan mewawancarai teman-teman dari Indonesia Mengajar. Mereka adalah mantan pengajar muda yang telah mengabdikan 365 hari-nya untuk membuka masa depan Indonesia. Mereka adalah orang-orang yang masih percaya bahwa negeri mereka, telah merdeka.
Barcelona, 5 Desember 2015, saya memulai percakapan dengan sedikit basa-basi dengan kedua narasumber. Yang pertama adalah mbak Avina Widarsa, jebolan salah satu universitas ternama di Singapura yang punya pengalaman mengajar di Halmahera Selatan. Sebuah kabupaten yang bahkan beliau sendiri tidak pernah tau sebelumnya.
'Itu pertama kali saya dengar Halmahera Utara. Bahkan saya baru tau kalau saja Maluku itu dibagi dua, ada Maluku dan ada Maluku Utara' pengakuannya dengan nada serius.
Narasumber yang kedua adalah Rifki Furqan, jebolan universitas di Jerman dan Belanda ini juga pernah mengajar di provinsi terpencil Kalimantan, tepatnya di Kabupaten Kapuas Hulu. Selama proses bincang-bincang, beliau betul-betul berusaha menyulut api semangat pemuda-pemudi Indonesia untuk berkontribusi membangun negeri.
'Punya pengalaman hidup di luar negeri, rasanya tidak akan lengkap, jika kalian belum saksikan negeri kalian sendiri' pesannya ke seluruh pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di luar negeri
Pertanyaan demi pertanyaan pun saya ajukan. Seselingan dengan Izza yang menjadi Co-Host saya saat itu. Kami pun berbagi daftar pertanyaan yang sudah kami list beberapa hari sebelum Live Interview. Daftar pertanyaan yang kami sari setelah 2 hari mencari referensi seputar program Indonesia Mengajar.
Ada salah satu jawaban dari pertanyaan itu yang sampai saat ini membuat saya merinding. Cerita yang menampar saya pelan-pelan, tak berbekas, tapi membuat dada sesak.
'Kenapa pemuda-pemudi Indonesia harus ikut program Indonesia Mengajar?' tanyaku kala itu
Mbak Avina mulai merangkai kata-katanya. Seolah terlalu banyak jawaban di kepalanya. Saya tahu susahnya menceritakan tragedi yang dahsyat dengan waktu yang terbatas, mungkin seperti seorang jurnalis yang dikejar deadline, garis mematikan. Sabar dan penuh kehati-hatian.
'Saya melihat sisi lain Indonesia, banyak anak cerdas yang sayangnya tidak diberikan kesempatan. Saya punya siswa, kelas 6 SD yang belum bisa Alphabet. belum bisa membedakan mana huruf ini dan itu, ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, ini tanggung jawab kita' jawabnya
Saya terdiam sejenak. Membayangkan sebuah negeri dengan penduduk 250 juta, yang mengirimkan lebih dari 3000 pelajar ke luar negeri tiap tahunnya, bahkan mungkin lebih. Mengutip perkataan dari Bapak Anies Baswedan 'Mendidik adalah kewajiban setiap orang terdidik'.
Setiap hari senin, jutaan anak-anak di Indonesia membaca pembukaan UUD 1945. Bahwa negara menjamin melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Betapa beruntungnya orang-orang yang bisa mengenyam pendidikan yang layak, berarti janji sebuah UUD 1945 yang ditebus dengan darah dan perjuangan para pahlawan itu telah terbukti. Saya dan mungkin teman-teman lain, hari ini, bisa duduk dalam kelas, berdampingan dengan penduduk negara-negara maju, berdaulat, merdeka, adalah bukti nyata dari UUD 1945.
Walaupun demikian, di sisi lain, teks naskah pembukaan UUD 1945 ini masih lah sebuah doa untuk generasi-generasi di pelosok negeri. Doa-doa yang terus melindungi saya dan juga jutaan teman-teman di berbagai belahan dunia. Melihat fenomena anak kelas 6 SD yang masih belum bisa menghafalkan alphabet, UUD 1945 yang kita baca kala upacara, menjadi beban saya dan teman-teman semua.
Percakapan dengan durasi 3 jam, yang sekali lagi membuat saya malu, malu jadi benalu. Percakapan yang selalu mengembalikan hati saya untuk kembali ke negeri sendiri. Mungkin saya pernah kagum dengan pesawat Jerman yang canggih, atau dengan tim sepak bola Spanyol yang tak tertandingi, tapi darah saya tidak mungkin berbohong, saya selalu mencintai negeri ini, Indonesia.