Mendidik Anak Sebelum Dia Lahir
http://www.daengfaiz.com/2014/10/mendidik-anak-sebelum-dia-lahir.html
Tiga hari belakangan ini saya diteror dengan pertanyaan-pertanyaan teman-teman di Indonesia terkait masalah Party di Kampus saya. Bukan diteror sih, lebih ke arah memberikan masukan.
X : Kamu nggak ikut Party di sana?
Y : Nggak
X : Ikut aja lagi... Nanti kamu nggak punya teman.
Besoknya...
A : Kamu nggak ikut minum-minum bir?
B : Nggak
A : Kenapa? Itu kan Halal aja. Untuk menghangatkan badan.
B : Itu Haram. Dilarang meminum Khamar.
Kedua percakapan di atas via Facebook dan LINE (sedikit dimodifikasi redaksinya).
Percakapan-percakapan ini yang membuat saya bertanya-tanya tentang jati diri. Saya bukan sosok laki-laki religius yang ahli surga. Saya hanya berusaha hidup di garis normal. Bahkan ketika ditawari minuman beralkohol, saya menolak bukan dengan jawaban "karena saya muslim", saya menjawab "that's not my culture".
Saya tidak munafik. Saya cinta musik dan saya senang berada di keramaian, termasuk party. Lalu, kenapa saya tidak datang ke acara itu?
Sebenarnya saya datang ke PARTY
Malam itu, saya benar-benar ragu untuk ikut ke Party. Sehari sebelumnya saya nongkrong di kafe dekat kampus bersama beberapa teman kampus yang dikategorikan "gaul". Saya pun berusaha mengakrabkan diri kala itu. Beberapa di antara mereka pun tertarik berkenalan dengan orang Indonesia seperti saya. Dan obrolan diakhiri dengan mengadakan voting tentang minuman alkohol apa yang akan dibawa ke Party nanti.
Karena saya terlibat obrolan di kafe itu, saya merasa punya kewajiban moral untuk datang ke Party. Dan benar, setelah selesai shalat maghrib, sudah ada teman yang berdiri menunggu di depan pintu kamar. Tidak ada pilihan lain, saya ikut.
Tiba di lokasi, saya sudah berekspektasi. Ada bertruk-truk minuman alkohol di lokasi Party. Saya sudah cerita ke teman saya, bahwa saya tidak minum minuman beralkohol. Namun, dengan gurau dia menyangga "You should try only for tonight". Saya seperti domba yang masuk ke kerumunan Singa. Pilihannya cuma dua, pura-pura menjadi Singa atau mati dimakan Singa.
No money, No studentcard.
Tuhan memang Cerdas. Pas masuk ke pintu gate, ternyata Party yang notabenenya di-organized by kampus ini, mewajibkan pengunjung membeli tiket masuk seharga 5 euro. Dan akan dapat potongan 2 euro jika menggunakan studentcard. Tadi, saya berasumsi party ini gratis, jadi saya tidak bawa dompet dan tidak bawa studentcard. Walhasil, saya pun tidak bisa masuk ke Party. Benar-benar pertolongan di luar dugaan, doa ibu saya mungkin sedang dijabah. Saya pun pamit sama teman-teman yang asyik minum bir di pintu gate.
Sebenarnya saya bisa pulang ke dormitory (asrama) untuk ambil uang dan studentcard. Akan tetapi, aku lebih memilih tinggal di dormitory, menghabiskan malam. Mungkin melalui ini juga saya mendidik anak-anak saya kelak, yang akan lahir 2, 3, atau 5 tahun lagi, entah.
Mendidik anak sebelum lahir?
Mendidik anak bukanlah perkara mudah. Saya berani menuliskan kata-kata itu, meski saya masih lajang, karena melihat potret kehidupan kedua kakak saya yang telah hidup berkeluarga.
Keponakan saya ada empat, Aqilah (5 tahun), Fariq (2 tahun), Mugi (2 tahun), dan Abi (belum 1 tahun). Mereka punya karakter berbeda-beda. Satunya tidak bisa dimarahi, satunya lagi ada yang pembangkang, ada juga tipikal yang diam dan sangat lembut perasaannya.
Di ilmu Biologi dulu, masalah pewarisan sifat anak itu bergantung pada DNA yang diwariskan kedua orang tuanya. Kalo tidak salah ingat, ibu mewariskan sel DNA inti dan DNA Mitokondria, sementara sang ayah mewariskan hanya sel DNA inti. Yang intinya, kombinasi sifat ayah dan ibu akan diwariskan ke anak nantinya. Pernah dengar pepatah "Didiklah anakmu 20 tahun sebelum dia lahir" ?
Kenapa saya tidak ke party itu? Yah, saya mengajarkan anak-anak saya, bagaimana menjadi manusia yang bisa menahan nafsu, bagaimana menjadi manusia yang berani mengambil keputusan, dan bagaimana menjadi ikan yang tidak asin, meski hidup di lautan. Mungkin, masih banyak kelemahan-kelemahan saya yang harus saya benahi, agar tidak terwarisi ke anak saya nanti. Saya jauh dari kesempurnaan. Saya sedang belajar, sedang mempersiapkan diri, sembari terus berdoa semoga calon ibu dari anak-anak saya juga berjuang dengan melakukan hal yang sama.
Ini hanya sebagian kecil dari perspektif saya, prinsip hidup saya, yang mungkin akan berbeda-beda setiap orangnya. Kalau pun, saya salah dalam menafsirkan ilmu biologi, paling tidak saya punya cerita yang bisa jadi teladan bagi anak-anak saya kelak.
Ini hanya sebagian kecil dari perspektif saya, prinsip hidup saya, yang mungkin akan berbeda-beda setiap orangnya. Kalau pun, saya salah dalam menafsirkan ilmu biologi, paling tidak saya punya cerita yang bisa jadi teladan bagi anak-anak saya kelak.
luar biasa...kehdupan di luar negeri bisa jadi sangat sulit untuk orang ndonesia yang mencoba bertahan dengan ajaran keislaman yang dianut...
BalasHapussaya salut dengan anda..luar biasa...
terima kasih untuk pelajarannya...