Lebaran di Tanah Hitler
http://www.daengfaiz.com/2014/10/lebaran-di-tanah-hitler.html
Bukan mudah hidup sebagai minoritas di negeri orang. Perkara makanan, tempat ibadah, sampai masalah toleransi. Di negeri der Panzer ini, sebenarnya islam berkembang pesat. Jumlah mesjid terus bertambah. Tercatat ada kurang lebih 200 mesjid dan ada sekitar 2000-an mushalah di Tanah Jerman ini. (statistik from de.statista.com).
Unfortunately, di kota Schmalkalden, tempat saya menuntut ilmu, belum ada mesjid. Ini memang resiko yang sudah saya ambil jauh-jauh hari sebelum memutuskan untuk hijrah ke sini. Semuanya mengandalkan aplikasi android, mulai dari mencari kiblat, mengetahui jadwal shalat, bahkan untuk sekedar membeli makanan di supermarket, saya harus membuka google translate untuk menerjemahkan komposisi-nya untuk memastikan bahwa itu halal.
No Shalat Ied, tapi tetap masak "OPOR AYAM".
4 Oktober 2014, Hari dimana umat muslim di Jerman berbondong-bondong Shalat Ied. Ini lebaran pertama saya di Jerman. Seperti yang saya katakan sebelumnya, tidak ada mesjid di kota tempat tinggalku. Lokasi mesjid terdekat sekitar 60 km, dapat ditempuh 1,5-2 jam menggunakan kereta. Durasinya lama, karena jalur kereta mengharuskan transit.
Saya hanya bisa shalat ied sendiri di dormitory. Mengingat jadwal kereta ke sana paling pagi jam 11. Kalo pun saya nekat, saya harus berangkat sehari sebelumnya dan entah harus nginap dimana. Shalat Ied sendiri hukumnya Sunnah Muakkad, dan saya telah menemukan referensi bahwa diperbolehkan shalat ied sendiri di rumah jika kondisinya tidak memungkinkan.
Alasan lain adalah harga tiket kereta yang begitu mahal. Yah, mungkin karena di Jerman ini penduduknya sedikit, jadi transportasi umum begitu mahal. Untuk ke lokasi mesjid tadi saya harus bayar 30 euro, jadi pulang-pergi sekitar 60 euro. Kalo dirupiahkan sekitar satu juta rupiah, sama dengan harga tiket pesawat dari Makassar ke Jakarta.
Semester Ticket vs Commuter Line Jakarta
Sebenarnya saya bisa gratis menuju Erfurt (lokasi mesjid tadi) menggunakan semester tiket yang diberikan kampus. Akan tetapi, saya belum masuk kuliah, saya belum registrasi ulang, jadi sampai menulis tulisan ini saya belum punya semester tiket.
Cerita sedikit. Ada orang Indonesia, di kota tempat teman saya, bercerita saking mahalnya transportasi di Jerman, orang-orang jerman yang notabenenya penduduk asli, mereka biasanya meng-akalinya dengan cara mendaftar jadi mahasiswa di kampus, agar bisa memperoleh semester ticket juga. Benar-benar sungguh ironi. Beda banget sama transportasi di Indonesia, utamanya di Jakarta, bisa keliling jabodetabek bermodalkan Rp.2000 rupiah pakai Commuter Line.
Karena tidak kemana-mana, saya memutuskan masak Opor Ayam di dorm. Untungnya, saya bawa bumbu jadi Indofood dari Indonesia. Saya tinggal beli ayam di supermarket, lalu masak di dorm.
Rasanya, lumayan enak. Meskipun belum menandingi rasa opor ayam buatan ibu ku. Paling tidak, ada sedikit suasana lebaran yang saya rasakan.
Bagaimana lebaran teman-teman saya di kota lain?
Sebelumnya saya mau cerita, saya berangkat ke Jerman ada 13 orang, tapi lokasinya di kota yang berbeda-beda. 5 orang di Offenberg, 1 orang di Giessen, 2 orang di Bremen, 1 orang di Mittweida, 1 orang di Coburg dan 2 lagi di Frankfurt. Mereka lebih beruntung dari saya karena di kota mereka sudah ada mesjid.
Mas Heru yang tinggal di Giessen misalnya, beliau berlebaran ke Frankfurt bersamaan mahasiswa Indonesia di sana. Di tempat ku, orang Indonesia cuma 3 orang. Aku, Mbak Nuri (mahasiswa S2 yang sedang thesis) dan Amanda (mahasiswa S2, yang 4 tahun menyelesaikan S1 di Korea). Dan karena keduanya perempuan, mereka begitu tidak punya animo untuk berlebaran ke luar kota.
Foto-Foto Mas Heru yang Lebaran di Frankfurt |
Sementara, duo Mas Nanda dan Mas Nanta, yang tinggal di Bremen, berlebaran sama komunitas orang Indonesia di sebuah kebun. Sekali lagi, mereka sangat beruntung. Mbak Eka yang tinggal sendirian di Mittweida, juga bisa berlebaran di Chemnitz, pusat kota yang banyak diisi orang Turkey (katanya sih mesjidnya kayak ruko). Mas Abiyan berlebaran di Coburg. Teman-teman di Offenberg, meskipun lokasi kampus dekat dengan Mesjid, sayangnya mereka juga tidak bisa berlebaran dikarenakan ada seminar di Kampus.
Foto Lebaran di Chemnitz dari Mbak Eka |
Foto-Foto Lebaran di Bremen dari Mas Nanda dan Mas Nanta |
Yah, begitulah lebaran Idul Adha di Tanah Hitler. Mungkin ini hanya sepotong cerita perjuangan menjadi Muslim di negeri tanpa Mesjid karena saya sadar betul akan butuh banyak perjuangan di depan sana. Saya teringat sama apa yang dikatakan Aa' Gym di Darut Tauhid dulu, "Bumi, Langit, dan Udara, semua milik Allah, lalu kenapa kita harus takut?"
Nice, Minal Aidin Wal Faidzin.
Happy Eid Al-Adha.
hallo, kalo tidak keberatan boleh gak saya minta kontak teman kaka yang kuliah dikota Mittweida. Saya mau tanya2. Terima kasih :)
BalasHapus