Surat Cinta Untuk Istriku
http://www.daengfaiz.com/2012/11/surat-cinta-untuk-istriku.html
Ilustrasi (http://mohamadbasir.files.wordpress.com) |
Dear Istriku yang sedang berjuang di dalam sana,
Hari ini aku akan resmi menjadi ayah. Entah dalam beberapa
jam lagi.
Kekhawatiranku bukan tentang hari ini, tetapi rentetan hari-hari
yang akan kita lewati setelah ini.
Aku, kamu, dan buah hati kita nanti.
Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk memberimu kabar buruk.
Akan tetapi ketauhilah, tidak akan ada waktu yang tepat untuk menyampaikan hal
ini. Aku baru saja di PHK dari perusahaan tempat ku bekerja. Perusahaan yang
menafkahi keluarga kecil kita selama 2 tahun terakhir. Aku sebenarnya tidak
ingin kamu tahu tentang ini, tetapi capat atau lambat kamu pasti akan tahu
kondisi ini.
Entah kenapa di saat genting seperti ini. Di saat jutaan
pasangan lain tersenyum bahagia menyambut kehadiran anak pertama mereka,
sementara kita harus menghadapi musibah seperti ini.
Shit, Kenapa aku
begitu egois memikirkan ini, sementara engkau sedang berjuang keras di dalam
sana. Semestinya aku tidak punya waktu untuk memikirkan ini. Layaknya suami
yang baik, seluruh waktu yang ku punya saat ini seharusnya ku habiskan untuk
mendoakan keselamatan mu dan calon buah hati kita nanti.
Aku masih sibuk mengintip di sela-sela pintu ruang operasi. Sedari
tadi aku mondar-mandir tak karuan di sini. Pikiranku bercabang dan tumbuh
begitu liar. Udara yang tadinya sejuk berubah mencekam membuat ku tegang. Ketahuilah, aku benar-benar mendoakanmu.
Ketakutanku tidak pernah melebihi saat ini. Aku belum pernah
mengkhawatirkanmu seperti ini, mengingat kondisi kandunganmu yang lemah dan
belum genap 9 bulan. Aku betul-betul ingin marah kepada Tuhan, kenapa semua
cobaan ini datang di waktu yang bersamaan.
Aku memilih duduk tenang di ujung koridor. Sesekali aku
menghela nafas seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Aku benar-benar rindu
senyuman lepas yang kau seduhkan kedalam kopi hangat pagi tadi. Aku ingin
mendengar cerita gila mu sebelum aku tertidur pulas di penghujung
malam-malamku. Aku masih ingat betapa senangnya dirimu menceritakan masa depan
anak kita nanti.
“Aku ingin anak kita jadi musisi handal, dan aku akan
berdiri paling depan dengan tepuk tangan yang paling keras saat anak kita
konser nanti”
Deretan kata-kata itu masih aku hafal meski telah kau
ucapkan sejak kandunganmu masih berusia 3 bulan. Dan ini merupakan alasan kenapa aku
menghadiahimu sebuah headphone di hari ulang tahun mu 2 minggu yang lalu. Aku betul-betul
ingat semua keinginanmu, meskipun kadang tidak masuk akal. Aku percaya kamu
melebihi dari tingkat rasionalitas yang ada di kepalaku.
Aku tampak seperti pecundang saat ini. Aku bahkan tidak
berani berkhayal tentang masa depan anak kita nanti. Dengan kondisi seperti
ini, aku hanya bisa menghadiahimu janji-janji yang boleh kau tagih kapan saja,
nanti.
Aku janji “aku tidak akan membuat dirimu dan anak kita nanti
merasa kekurangan sedikit pun. Aku akan menjadi suami yang baik seperti yang
kau tulis di diary mu semasa bangku sekolah. Aku juga berjanji akan menjadi
sosok ayah yang baik buat anak kita nanti. Aku akan melindungi dan menafkahi
kalian dengan mengerahkan seluruh potensi yang ku punya. Akan ku pertaruhkan
nyawaku sekalipun untuk membuat kalian bahagia”
Aku benar-benar tidak sabar menanti saat-saat itu. Mungkin
nanti kau akan membangunkanku hanya untuk mengganti popok anak kita nanti. Atau
kita bertengkar kecil hanya karena aku salah menaruh takaran susu anak kita di
malam hari. Mungkin ada baiknya, nanti kita membuat jadwal piket jaga malam
seperti di film-film korea. J
Tiba-tiba aku tersadar dari lamunan panjang, setelah seorang
suster keluar dan bergegas menghampiriku. Aku segera berdiri dan menanyakan
kondisimu.
“Bagaimana sus?” “Apa anak ku lahir dengan selamat?”
Suster hanya diam dan memintaku berbicara langsung dengan
dr.akio yang memimpin operasi . Aku pun bergegas menuju ruangannya yang tak
jauh dari ruang operasi. Setibanya aku dengan nafas terengah-engah, aku
menanyakan kondisimu.
Dr. Akio tampak terlihat tenang, beliau melepas kacamatanya
sesaaat sebelum dia bernjak duduk. Aku benar-benar tegang, melebihi saat aku
mengucapkan ijab qabul saat kita nikah dulu. Aku begitu khawatir, terlebih
melihat raut wajah dr. Akio yang sedikit gamang.
“Selamat, anda menjadi ayah. Putra anda lahir dengan selamat
dengan berat 2,5 kg, tetapi...”
Semenjak dulu aku tidak suka kata-kata setelah “tetapi”.
Saat itu, aku seolah ingin terbangun dari mimpi dan semuanya baik-baik saja.
Air mata ku tiba-tiba tertahan di garis terluar. Aku takut.
“Kondisi istrimu sedang kritis, dia mengalami pendarahan
berkali-kali. Kondisinya begitu lemah, dan saat ini kita butuh pendonor darah
yang tidak sedikit”
Sungguh, aku menangis dalam hati saat itu. Tercengang dan
hanya mampu diam. Aku ingin segera menemuimu dalam kondisi apapun.
Untungnya dokter memperbolehkanku menemui mu di ruang ICU.
Aku diperkenankan masuk setelah menggunakan baju operasi seperti yang dokter
kenakan. Aku menggenggam tangan mu dan masih berharap itu bukanlah kau yang
sebenarnya. Aku masih berharap kau terbangun dan teriak “surprise” seperti kau
menjahiliku dengan berpura-pura pingsan di hari ulang tahunku dulu.
Sungguh aku masih ingin berlama-lama di sini. Meskipun kau
tidak sadar saat ini, Aku menceritakan padamu bahwa anak kita laki-laki, ini
seperti kejutan yang kau idam-idamkan selama ini. Bukan kah begitu? Aku masih
ingat betapa kau menutup telinga setiap kali dokter selesai meng-USG kandungan
mu. Kau benar-benar menantikan hari ini sebagai sebuah kejutan. Seharusnya kau
sedang senyum bahagia dan memelukku erat. Aku benar-benar takut kehilangan
kamu. Aku menyempatkan mencium keningmu sesaat setelah aku dipersilahkan keluar
oleh suster.
Setelah menemuimu, Aku segera mengabari para keluarga dan
kerabat dekat untuk mencari pendonor darah sebanyak mungkin. Sayangnya golongan darah kita berbeda, padahal
ketahuilah aku bahkan rela mendonorkan separuh nyawaku untuk melihat dirimu tersenyum
sedikit saja.
Aku bergegas ke ruangan bayi. Tak sabar rasanya melihat
putra pertama kita, entah wajahnya lebih mirip kamu atau justru lebih mirip
aku. Siapapun dia, bagaimanapun rupanya, dia adalah anak kita yang akan memecah
keheningan di istana sederhana kita nanti. Dia yang akan menjadi alasan untuk
meredam keras kepala yang kita punya. Senyumannya akan menjadikan kita kuat,
dan karena senyumannya juga kita berjuang.
Di dalam sana aku menemui suster yang tadi ku temui pasca
operasi. Aku bergegas menyapanya.
“Sus, tunjukkan dimana anakku?”
Jujur, aku sangat tabu mengucapkan kata “anakku”. Wajar, aku
baru saja menjadi ayah beberapa menit yang lalu. Aku akan mencoba mengucapkan kata
itu berulang kali nanti, agar aku menjadi biasa, seperti halnya aku terbiasa
memanggilmu dengan ucapan “sayang”.
Suster pun menunjukkan anak kita. Aku melihat kakinya ada
plester bertuliskan namamu di sana. Aku ingin menggendongnya segera tapi sayang
suster tidak memperbolehkannya. Aku kasihan melihat kondisi putra kita,
seharusnya saat ini dia sedang hangat berada dalam pelukanmu. Aku benar-benar
merasa gagal menjadi ayah yang baik saat itu.
Aku pun beralih ke ruang ICU, di depan sana samar-samar
kulihat sosok ibu dan ayahmu sedang mengintip kondisi mu dari lubang kaca
transparan. Aku yakin, mereka tidak diperbolehkan masuk. Aku pun menemuinya
dengan segera. Ternyata dugaan ku salah, mereka berdua adalah kawan lama semasa
SMA dulu. Kebetulan mereka berdua mendapat kabar tentang keberadaan kita di
Rumah sakit ini melalui sosial media.
Setelah itu aku betul-betul tak ingat apa-apa lagi. Aku
tersadar dan kau sedang duduk manis disamping ku. Semuanya seperti mimpi yang
panjang. Kau mencium ku dan membisikku dengan ucapan “anak kita laki-laki”.
Makassar, 9 November 2016
wah selamat mas yang sudah punya baby hehe..
BalasHapusokay. saya tidak mengerti endingnya :D
BalasHapustapi secara keseluruhan, ini bagus banget dan kind of sweet things. I wish I can write sweet stuff someday. haha.
saya suka ini.
Nagakak, masih smpai judul
BalasHapusendingnya sulit untuk dibayangkan. apakah semua itu hanya mimpi buruk, atau masa masa sulit itu telah terlewati?
BalasHapusendingnya sulit untuk dibayangkan. apakah semua itu hanya mimpi buruk, atau masa masa sulit itu telah terlewati?
BalasHapus